Dugaan Modus Baru Korupsi di Proyek TPS 3R Banjar Agung: “Uang Dipegang Siluman, Jabatan Rangkap Dibiarkan”

Dugaan Modus Baru Korupsi di Proyek TPS 3R Banjar Agung: “Uang Dipegang Siluman, Jabatan Rangkap Dibiarkan”

Spread the love

Beritapiral.com – Tulang bawang, Proyek pembangunan TPS 3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle) di Kampung Tunggal Warga, Kecamatan Banjar Agung, Kabupaten Tulang Bawang, kembali menimbulkan polemik serius. Setelah sebelumnya menuai sorotan karena pekerja tidak memakai alat pelindung diri dan ketua pelaksana merangkap jabatan sebagai Rukun Kampung (RK), kini muncul dugaan praktik pengelolaan keuangan yang tidak transparan dan terindikasi “siluman”. (31/10/25)

Dari hasil penelusuran lanjutan di lapangan, terungkap bahwa bendahara yang disebut dalam proyek ini bernama Wiwin, yang menurut keterangan Karwan (RK 07 sekaligus ketua pelaksana) merupakan Winarti, salah satu staf aparatur desa. Fakta ini memperkuat dugaan adanya rangkaian konflik kepentingan dan pelanggaran aturan pengelolaan proyek pemerintah.

Publik menilai praktik seperti ini merupakan modus baru dalam dunia korupsi tingkat desa. Bila selama ini publik sering mendengar istilah “proyek siluman” karena tak ada papan informasi, kini muncul pola baru: pengelolaan uang proyek dilakukan secara siluman oleh orang yang seharusnya tidak berwenang.

Menurut keterangan Karwan saat dikonfirmasi sebelumnya, ia hanya ditunjuk sebagai ketua pelaksana tanpa memegang dana maupun bertanggung jawab atas pengadaan. Hal ini justru menimbulkan tanda tanya besar: siapa sebenarnya pihak yang memegang kendali keuangan proyek Rp600 juta tersebut? Jika ketua pelaksana tidak memegang dana dan bendahara adalah aparatur kampung, maka patut diduga ada pihak lain yang bermain di balik layar.

Sumber di lapangan menyebut bahwa praktik seperti ini sering terjadi ketika proyek pemerintah dilaksanakan secara swakelola, namun dikendalikan oleh segelintir oknum yang memanfaatkan jabatan dan kedekatan dengan aparat desa. Mereka menempatkan nama orang tertentu sebagai pelaksana formal, sementara kendali uang dan kebijakan teknis diatur diam-diam oleh pihak yang tidak tercantum dalam dokumen resmi.

Modus seperti ini tidak hanya melanggar etika pemerintahan, tetapi juga melanggar hukum. Berdasarkan Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 Pasal 4 ayat (1), perangkat desa dilarang terlibat langsung dalam kegiatan yang menggunakan dana pemerintah apabila menimbulkan konflik kepentingan. Sedangkan Permen PUPR Nomor 8 Tahun 2022 Pasal 15 ayat (2) menegaskan bahwa Swakelola Tipe IV harus dilaksanakan oleh kelompok masyarakat (KSM) yang independen, bukan berasal dari unsur pemerintah desa.

Jika benar bendahara proyek adalah staf desa dan ketua pelaksana adalah RK aktif, maka kegiatan tersebut sudah jelas menyalahi dua aturan sekaligus. Selain pelanggaran administratif, kondisi ini juga berpotensi menjadi tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, yang menyebutkan bahwa setiap pejabat yang menyalahgunakan kewenangan atau jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dapat diancam hukuman penjara minimal satu tahun dan maksimal dua puluh tahun.

Yang lebih mengkhawatirkan, ada indikasi keterlibatan oknum-oknum tertentu yang merasa kebal hukum di balik proyek ini. Mereka diduga memainkan peran ganda: di satu sisi mengatur siapa yang menjadi pelaksana dan bendahara, di sisi lain mengendalikan aliran dana dan keputusan teknis di balik layar. Dugaan ini menguat karena hingga kini, nama konsultan dan kontak resmi pengawas lapangan tidak pernah diumumkan secara terbuka, bahkan disembunyikan oleh ketua pelaksana saat dikonfirmasi.

Ketiadaan transparansi tersebut melanggar prinsip keterbukaan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mewajibkan setiap badan publik untuk mengumumkan kegiatan, rencana kerja, dan penggunaan anggaran secara jelas kepada masyarakat. Ketertutupan seperti ini hanya akan menimbulkan kecurigaan dan memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Publik juga mempertanyakan fungsi pengawasan pemerintah daerah dan Satker Cipta Karya Lampung. Dengan nilai proyek mencapai Rp600 juta, kegiatan semacam ini seharusnya diawasi secara ketat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban akhir. Masyarakat mendesak agar Inspektorat Kabupaten Tulang Bawang, Dinas PUPR, serta Dinas PMK segera turun ke lapangan dan melakukan audit terbuka terhadap proyek ini.

Mengingat anggaran yang begitu besar dan banyaknya kejanggalan di lapangan, publik meminta agar dinas dan instansi terkait mengawal proyek ini hingga tuntas. Jangan sampai dana aspirasi pemerintah pusat dijadikan ladang korupsi oleh oknum yang berlindung di balik jabatan. Proyek yang seharusnya membawa manfaat bagi warga berpotensi menjadi simbol kegagalan moral birokrasi jika tidak segera diawasi dengan tegas.

Sebagai bentuk keseimbangan informasi, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, redaksi membuka ruang seluas-luasnya bagi pihak-pihak yang disebut dalam pemberitaan ini untuk memberikan hak jawab atau klarifikasi resmi. Hak konfirmasi ini merupakan bagian dari komitmen jurnalisme berimbang agar masyarakat mendapatkan informasi yang objektif dan akurat.

(Tim/red | bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *